Seorang muslim wajib—setelah beriman kepada Allah—untuk mengenal akidah ini, berpegang teguh dengannya, dan menyeru manusia kepadanya, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
“Dan barang siapa berpegang teguh kepada Allah, maka sungguh dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”(QS. Ali 'Imran: 101)
Allah juga berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, serta memusuhi Rasul, setelah petunjuk jelas bagi mereka, mereka tidak akan dapat memberi mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan menghapus amal-amal mereka.”(QS. Muhammad: 32)
Dakwah kepada Akidah adalah Pokok
Dakwah kepada akidah Islamiyah adalah pondasi utama. Para rasul semuanya memulai dakwah mereka dengan seruan kepada tauhid. Sebagaimana firman Allah:
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul kepada setiap umat (dengan membawa seruan): Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.”(QS. An-Nahl: 36)
Setiap nabi memulai dakwahnya dari sini. Nabi Nuh ‘alaihis salam berkata:
“Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan selain-Nya.”(QS. Al-Mu’minun: 23)
Demikian juga Nabi Hud, Shalih, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan seluruh para nabi dan rasul—shalawat dan salam Allah atas mereka semua.
Tanggung Jawab Seorang Muslim
Maka wajib atas orang yang telah mengenal akidah ini untuk:
-
Menyampaikannya kepada orang lain,
-
Menyeru dengan hikmah dan nasihat yang baik,
-
Tidak membatasi diri hanya pada dirinya sendiri.
Dakwah ini adalah jalan para rasul dan para pengikut mereka. Allah berfirman:
“Katakanlah: Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah atas dasar ilmu, aku dan orang-orang yang mengikutiku.”(QS. Yusuf: 108)
Dakwah Harus Dimulai dari Akidah
Karena akidah adalah dasar yang benar bagi seluruh perbaikan yang diharapkan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Ia tidak akan terwujud kecuali dengan pondasi ini. Bahkan, Nabi ﷺ ketika mengutus para da‘i dan utusan, beliau memerintahkan agar mereka memulai dari akidah.
Dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه, bahwa Nabi ﷺ ketika mengutus Mu‘adz ke Yaman, beliau bersabda:“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum Ahli Kitab. Maka hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah agar mereka mentauhidkan Allah...”(HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi ﷺ bersabda kepada Mu‘adz saat mengutusnya ke Yaman:
"Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka jadikanlah seruan pertamamu kepada mereka adalah persaksian bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah."
Dalam riwayat lain:
"... agar mereka mentauhidkan Allah. Jika mereka telah menaati hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka telah menaati hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka dari harta-harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini adalah dalil kuat yang menjelaskan bahwa dakwah para rasul dimulai dari dakwah kepada tauhid. Maka, seyogyanya setiap da‘i dan penyeru Islam memulai dengan dakwah kepada tauhid dan memperingatkan dari kesyirikan.
Dakwah Nabi ﷺ Fokus pada Tauhid
Nabi ﷺ tinggal di Makkah selama tiga belas tahun setelah diutus, menyeru manusia untuk memperbaiki akidah dan mengesakan Allah semata dalam ibadah, sebelum beliau memerintahkan mereka untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa, haji, berjihad, dan meninggalkan perkara-perkara haram serta akhlak yang buruk, seperti durhaka, riba, zina, dan lainnya.
Ini merupakan dalil yang sangat jelas dan kuat tentang kesalahan sebagian kelompok Islam kontemporer yang memulai dakwah mereka tidak dari perkara akidah, melainkan langsung kepada aspek-aspek sosial dan moralitas, atau sekadar seruan umum tanpa landasan yang kokoh.
Mereka lebih fokus memperbaiki perilaku, memperhatikan politik, sistem pemerintahan, ekonomi, dan hanya memperingatkan tentang riba, korupsi, dan kekacauan moral. Padahal pondasi perbaikan semua itu adalah tauhid kepada Allah dan membersihkan akidah dari kesyirikan.
Seruan yang tidak diawali dengan perbaikan akidah akan menghasilkan pembaruan yang rapuh, tidak membawa keberkahan, dan tidak berpengaruh secara nyata. Justru akan mengantarkan kepada penyimpangan, kebingungan, dan bercampurnya kebenaran dengan kebatilan.
Allah Ta‘ala berfirman:
"Dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat."
Dan firman-Nya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."
Maka wajib bagi setiap muslim untuk memulai dakwahnya dari lingkungan terdekat: keluarganya dan orang-orang di sekitarnya, sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. Disebutkan bahwa seseorang datang kepada Nabi ﷺ dan berkata:
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak bisa berpuasa, aku tidak mampu berperang, tapi aku bisa berdakwah." Maka beliau ﷺ menjawab:
"Engkau adalah seorang penyeru kepada Allah, sampaikan walau hanya satu ayat."
Juga diriwayatkan bahwa Al-Fudhayl bin ‘Iyadh rahimahullah ditanya tentang seseorang yang selalu duduk di masjid namun tidak menasihati saudaranya sesama muslim yang duduk di sebelahnya. Maka beliau menjawab:
"Katakanlah padanya: ‘Engkau tidak menunaikan hak saudaramu. Bangkitlah dan nasihatilah ia karena engkau akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.’ Ini adalah sikap mulia."
Maka jelaslah, seorang da‘i yang menyeru kepada Allah hendaknya lebih memperhatikan sisi akidah daripada yang lainnya. Hendaknya mereka mempelajarinya, memahami hakikatnya, kemudian menyampaikan kepada umat. Mereka tidak boleh lalai atau bersikap remeh dalam hal ini.
Nabi ﷺ bersabda:
"Aku menyeru kepada Allah di atas bashirah (ilmu yang jelas), aku dan orang-orang yang mengikutiku. Mahasuci Allah, dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik."
Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam menafsirkan ayat ini mengatakan:
"Allah Ta‘ala memberitakan bahwa Nabi-Nya ﷺ berkata: Inilah jalanku, dakwahku, manhajku, dan metodeku dalam berdakwah: aku mengajak manusia kepada mentauhidkan Allah, mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya, dan mengesakan-Nya dalam ibadah."
Beliau juga menafsirkan perkataan Nabi:
"Aku dan orang-orang yang mengikutiku."
Yakni: "Aku berada di atas jalan ini dalam dakwahku, dan begitu pula orang-orang yang mengikutiku dengan benar dari kalangan umatku."
Beliau berkata:
"Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, dan bukan para penyimpang atau pelaku bid‘ah."
No comments:
Post a Comment